
Aku membesarkan putriku sendirian. Seorang remaja pemarah, pemilik darah ayahnya.
Dapat kusimpulkan begitu karena aku merasa sebagai seorang wanita yang lemah
lembut. Sering aku mengalah dan memberi apa yang putriku mau demi keutuhanku dan
dia.
Pernah ketika, aku janji. Jemput anakku, pulang sekolah. Tapi aku lupa. Teringat akan
sifatnya yang pemarah membuat aku langsung bergegas ke sekolahnya. Kucari dan
selalu kucari, ternyata sedang di kantin sekolah, ngobrol bersama teman-teman. Saat
anakku melihatku datang, anakku seolah meniupku. Setelah itu dia tampar aku.
Aku belum pernah melihat dia semarah ini sebelumnya. Aku terkejut akan reaksiku yang
bahkat tidak melawan, membantah atau mencoba menghentikannya. Aku hanya
menundukan kepala dan mencari alasan. Sikapku ini rupanya membuat dia tak
berkenan, memarahiku dan menjewer telingaku. Telingaku terus dijewer dan aku diseret
hingga ke mobilku.
Melewati tempat sampa, anakku menghentikan langkah. Dia memerintahkanku agar
melepas cdku dan melemparkan ke tempat sampah tersebut. Tapi Na… aku mencoba
berdebat. Namun telingaku malah dijewer makin keras. Hingga aku terpaksa berjinjit.
Aku memang pendek, kira-kira seratus lima puluh centimeter.
Sekali lagi aku menuruti perintahnya dengan mudah. Kuturunkan cd dari rokku hingga
pergelangan kaki. Dia melepas telingaku, aku membungkuk untuk mengambil cdku. Saat
aku membungkuk, anakku mengangkat rokku, hingga semua yang melihat pasti melihat
pantatku. Aku lantas membuang cdku disertai tawa dari orang-orang.
Kami sampai di rumah. Namun sebelum masuk, anakku menyuruhku melepas semua
pakaian. Tapi Na… aku mencoba lagi. Hasilnya, anakku menamparku lagi. Pipi kiri dan
kanan. Aku lantas menuruti perintahnya, membuatku terkejut betapa mudah aku
menurut. Aku menangis terisak.
Di dalam, aku disuruh berdiri menghadap dinding. Kudengar putriku seperti sedang
sibuk, namun aku tak berani menoleh.
Sini! perintahnya.
Aku lantas mengikutinya ke kamar tidurku. Aku ketakutan saat melihat apa yang ada di
kasur. Di kasur terdapat sisir, bet pingpong, pemukul kasur dan pecut hiasan dinding.
Aku gugup, aku mencoba menenangkannya namun malah membuatnya meraih
putingku, meremas dan memutarnya hingga aku menjerit kesakitan.
Putriku menyuruhku berbaring di kasur. Di tengah kasur terdapat selimut dan diatas
selimut terdapat bantal. Aku berbaring di atasnya membuat pantatku seperti terangkat.
Lantas putriku mengikat tangan dan kakiku dan tali itu diikat ke kaki ranjang
membuatku tak berdaya dan seperti huruf X.
Putriku mengambil sisir dan langsung memukulkannya pada pantatku. Setelah beberapa
pukulan, aku menangis dan meminta belas kasihnya. Namun efeknya berbanding
terbalik dengan yang kuharap. Putriku malam memukulkan sisir makin menjadi. Saat
pukulan berhenti, air mataku jatuh tak tertahankan. Namun putriku langsung mengganti
sisir dengan bet pingpong dan kembali menampar pantatku.
Beberapa saat kemudian putriku mengambil pemukul kasur. Saat dipukul aku menjerit
shok. Hingga saat putriku berhenti, setelah beberapa menit baru aku bisa menenangkan
diri. Namun begitu, aku tak hentinya menangis.
Putriku meninggalkan kamar dan perlahan aku berhenti menangis. Setelah beberapa
saat, putriku kembali. Kucoba berbalik melihat apa yang akan putriku lakukan. Tapi aku
disuruh terus menatap ke depan. Putriku mendorong pantatku. Sebelum aku menyadari
betul apa itu, sesuatu telah masuk terpasang di anusku.
Lantas putriku memasukan dildo ke memekku, yang anehnya sudah basah, dan mulai
mengentotku dengan dildo itu. Putriku juga mengocok sumbat anus sambil mengocok
dildo. Reaksi yang kuterima benar-benar mengejutkanku. Ternyata aku hampir keluar.
Saat putriku menyadarinya, dia tertawa lantas menghentikan aksinya.
Putriku kembali ngocok dildo dan sumbat anus seperti sebelumnya, namun saat aku
akan keluar putriku menghentikan kocokan lantas memukul pantatku. Putriku beberapa
kali mengulangi hal itu membuatku frustasi.
Kalau lu mau keluar lu mesti minta sama gw! perintah putriku.
Aku mendadak lupa sopan santun, martabat dan kehormatan. Aku sungguh ingin keluar.
Oh Na, biarin mama keluar, aku memohon.
Putriku tertawa. Setelah itu dia kembali ngocok dildo dan sumbat anus hinga aku keluar.
Setelah aku keluar, putriku pergi tanpa melepas dildo dan sumbat anus.
Aku dibiarkan sendiri entah selama beberapa saat. Mukin satu jam kemudian putriku
kembali lantas mencabut dildo dan ikatanku. Namun sumbat anus masih terpasang. Aku
yakin putriku telah puas. Namun rupanya putriku menyuruhku berbalik. Aku lantas
terlentang. Pantatku kembali terasa sakit karena luka pukulan tadi.
Putriku lantas memegang pecut. Aku bahkan lupa tentang itu. Putriku lantas memecut
payudaraku dengan pecut hiasan untuk dinding. Bahkan beberapa kali mengenai
putingku. Perutku pun tak luput dari cambukannya. Terus pahaku hingga aku kembali
berair mata.
Putriku lantas naik ke kasur dan berdiri di atasku. Diantara kakinya terdapat tubuhku.
Apa yang akan dia lakukan, aku bertanya-tanya. Putriku lantas menyeret ujung pecut
hingga mengenai memekku. Aku lantas menyadari mana yang akan dicambuk.
Jangan Na, jangan, teriakku panik.
Sia-sia sudah, aku berteriak. Sepuluh pecutan membuatku berteriak sambil nangis
memohon belas kasihnya.
Sekarang siapa yang merintah di rumah ini? tanyanya.
Aku bingung, apa yang harus aku katakan. Beri aku ide… beri aku ide…
Putriku kembali mencambuku sepuluh kali, lantas mengulangi pertanyaannya.
Aku tak ingin dicambuk lagi, lantas kujawab, kamu Na, kamu yang merintah di rumah ini.
Aku tak tahu apakah jawabanku benar. Namun itulah satu-satunya yang bisa kupikirkan.
Putriku tertawa puas. Aku yakin jawabanku benar.
Siapa yang bakal ngelakuin apa yang gw perintahkan?
Aku tak langsung menjawab. Akibatnya aku kembali dipecut sepuluh kali. Aku berteriak,
mama yang bakal ngelakuinnya. Hatiku melara-lara, memang begini maunya. Aku
menjawab agar gak dicambuk lagi.
Putriku melepas cambuk dari genggaman tangannya, membuka sleting celana jin dan
melepas celananya serta cdnya. Setelah itu dia berlutut di atas wajahku. Dia menjambak
rambutku dan berkata, jilat memek gw anjing. Putriku menarik kepalaku ke memeknya.
Aku tak pernah menjilati memek sebelumnya. Aku ragu-ragu meski mulai menjilatinya.
Namun aku ingin menyenangkannya, jadi kujilat sebisaku. Rupanya jilatanku cukup
bagus karena tak mala kemudian putriku teriak akan segera keluar. Putriku menekankan
memek ke kepalaku begitu dalam hingga aku tak bisa bernafas. Aku takut mati lemas.
Aku lega saat akhirnya putriku melepaskan tangan di kepalaku.
Putriku lantas duduk di sampingku dan kembali mengambil pecut. Aku merasa ngeri
takut dicambuk lagi. Namun putriku malah memberitahuku aturan baru rumah ini. Mulai
sekarang aku hanya boleh memakai pakaian serba pendek/mini, seperti rok mini, daster
mini, celana pendek. Satu-satunya rambut yang boleh tumbuh hanyalah yang ada di atas
kepalaku, lain dari pada itu tidak boleh ada.
Kurasa esok akan kembali normal.
***
Perlakuanku rupanya bukan emosi sesaat putriku. Esok paginya setelah aku buang air
besar, sumbat anus kembali dipasangnya dan aku disuruh membuang semua pakaianku.
Ternyata tidak semua, aku diizinka memakai kaos yang begitu ketat. Bahkan hampir tak
bisa menutupi memekku. Sebelum sekolah, putriku mengambil semua uangku, bahkan
membawa mobilku.
Tapi Na, mama tak bisa pergi hanya memakai ini, kataku lemah.
Sebelum aku menyadari apa yang terjadi, putriku telah duduk di kursi, menarikku hingga
ke pangkuannya dan mulai memukul pantatku. Sisa pukulan kemari masih sakit,
ditambah sekarang, tentu makin sakit lagi. Aku lantas menangis dan memohon seperti
anak kecil. Putriku tak menunjukan belas kasihnya, malah terus memukulku hingga
akhirnya aku minta maaf karena tak menurut.
Putriku meninggalkanku menangis lalu duduk di kursi terdekat. Aku sudah lupa akan
sumbat anus membuatku terkejut saat pantatku duduk di kursi. Aku angkat kembali
pantatku dan menurunkannya pelan. Aku menangis mengasihani diri dan mencoba
memahami apa yang terjadi pada diriku.
Kupikir aku tak mematuhinya saja, tak memakai kaos ketat, tak ke sekolahnya, kucabut
sumbat anus yang tak nyaman ini. Tapi rasa sakit akibat sumbat anus itu membuatku tak
punya keberanian. Aku benar-benar pengecut. Perlahan aku bangkit dan mulai
melakukan apa yang diperintahkan.
Beberapa saat kemudian, lemari pakaianku telah kosong. Aku terisak putus asa sambil
melihat lemari kosongku. Aku lantas putuskan untuk ke sekolah Ana. Aku bahkan tak
memakai rok atau sesuatu untuk menutupi memekku.
Entah bagaiamana aku berhasil sampai ke sekolah anakku tanpa banyak diketahui
orang. Meski harus mengendap-endap, sungguh tak nyaman rasanya jalan dengan anus
tersumbat. Aku tentu tak langsung melihat Ana.
Aku diam menunggu putriku muncul untuk naik mobil, namun tak muncul jua. Akhirnya
aku mesti ke masuk ke sekolahnya untuk mencarinya. Untungnya sekolah sudah
lengang, hanya ada satu atau lima murid. Namun meski begitu mereka melihat apa yang
kupakai. Tentu mereka menyadari apa yang terlihat. Beberapa murid mengejek dan
bahkan memfotoku.
Aku langsung ke kantin dan mendapati putriku di sana sedang ngobrol bersama temanteman. Putriku menatapku dengan sombong, aku langsung tahu sedang berada dalam
keadaan berbahaya. Dia tak mengucapkan sepatah kata pun, hanya menunjuk lantai di
sampingnya.
Aku tak tahu apa maksudnya, jadi aku hanya berdiri kebingungan. Karena kesal, anakku
meraih rambutku dan menariknya ke lantai hingga aku berlutut seperti anjing di
sampingnya. Aku bersuara akibat sakit dan takut. Mendengar suaraku teman-temannya
hanya tertawa. Mereka mungkin senang melihatku, yang sudah dewasa, diperlakukan
seperti ini.
Namun Ana lantas menyadarinya. Dia lantas memerintahkanku melebarkan paha
selebar-lebarnya. Menyadari akan terlihatnya memek membuatku memohon pada
putriku agar tak melakukan ini. Namun ternyata permohonanku dijawab tamparan pipi
hingga aku menagis. Kaos pendekku kini seperti terangkat hingga sepinggang.
Seorang guru muncul di kantin. Aku rasa Ana bakal menyuruhku menutup memekku
agar tak timbul masalah. Namun ternyata berbanding terbalik dengan apa yang kukira.
Putriku melambai ramah pada guru membuat guru itu datang menghampiri. Guru itu
lantas menatapku dengan angkuh.
Kamu benar Na, pelacur itu pasti sange abis pose kayak gitu.
Ana tersenyum dan balas bicara, Oh ya! Kayaknya bener-bener sange nih pelacur. Bener
gak?
Aku masih tercengang bingung apa yang harus ku jawab. Aku masih belum terbiasa
dengan semua ini. Aku ragu-ragu untuk menjawab hingga pipiku kembali mendapat
tamparan membuatku terkejut hingga jatuh.
Lu terangsang gak? Jawab anjing!
Aku tak ingin ditampar lagi lantas aku kembali berlutut dan menjawab, saya tidak tahu
Na… Nyonya. Aku hampir lupa kalau aku mesti memanggil putriku Nyonya, dan
memanggil diriku dengan saya.
Saya tidak tahu? dengus putriku. Pegang memeklu, basah gak? Dasar pelacur memang
bodoh.
Aku malu mendengarnya, apalagi mendengar tawa mencemooh. Kuraih memekku dan
mersa takjub mendapati kenyataan memeku basah. Bagaimana bisa aku terangsang
dalam keaadan seperti ini? Tapi aku benar-benar basah dan tak tahu kenapa.
Gimana? tanya putriku.
Aku bingung, aku tak mau memberitahu orang lain kalau memekku basah tapi di sisi lain
aku tak ingin ditampar lagi. Aku menghela nafas dalam dalam dan mengaku sambil
berbisik, ya nyonya, saya basah. Putriku seperti kurang puas dengan jawabanku
membuatku mengulangi kata-kataku dengan agak keras hingga terdengar orang-orang.
Semuanya tertawa membuatku jadi lebih malu. Meski aku bertanya-tanya kok bisa?
Pelacur ini memang lucu, kapan-kapan boleh pinjem gak? tanya guru.
Boleh, tapi kalau sudah terlatih.
Terlatih? Aku bertanya-tanya maksud dari kata-kata putriku. Namun aku sadar sebentar
lagi pasti kuketahui. Ana lantas memakaikan kalung dan memasang tali ke kalung itu.
Ana menarik tali dan aku merangkak mengikutinya di belakang hingga ke mobil. Rasanya
sungguh memalukan, tapi lebih baik terhinda daripada dipukuli.
Tiga orang teman Ana mengikuti kami. Aku pun diperintah untuk memanggil mereka
nyonya. Ana memebuka bagasi dan menyuruhku masuk ke sana. Aku senang aku dulu
tak membelik mobil pick up. Sekali lagi aku menyerah dan mengikuti perintahnya.
Setelah itu kudengar Ana dan teman-temannya naik dan mobil pun melaju.
Kami naik lift dan masuk ke sebuah tempat tempat seperti salon. Kami ditemui seorang
pelayan wanita yang berbadan subur. Putriku menyuruhku melepas kaos. Aku
melakukannya dan berdiri telanjang. Aku lantas duduk dikursi dan diikat.
Ya, pertama kita mesti menyingkirkan ini, kata pelayan sambil menarik jembutku.
Bener, biar kayak kimcil, belum berbulu, jawab putriku terdengar antusias.
Mau cara biasa atau menyenangkan? Menyenangkan bagi kita tentunya.
Menyenangkan bagaimana? tanya putriku penasaran.
Pelayan meraih jembutku dan menariknya. Aku teriak kesakitan. Sepertinya setiap orang
di toko mendengar suaraku karena setelah itu aku dikerubuti orang-orang. Sambil
tertawa, pelayan, putriku dan tiga temannya bergantian menarik paksa jembutku
disertai teriakanku. Orang-orang yang menonton terlihat senang hingga memekku
benar-benar botak.
Perlahan-lahan aku bangun, mencoba mengingat apa yang telah terjadi. Pusingku belum
hilang. Aku melihat cermin dan melihat diriku. Rambutku dikuncir, memekku tak
berjembut. Postur tubuhku yang kecil merubahku dari seorang ibu menjadi seperti
seroang gadis kecil. Putriku lantas muncul membawa pakaian.
Kami kembali ke dalam toko di mana teman putriku dan pelayan menunggu. Mereka
memuji putriku dan adik kecilnya yang lucu.
***
Hari-hari berlalu. Putriku sering membuatku bersenggama dengan teman-teman
lelakinya. Aku merasa sangat malu berhubungan badan dengan abg sementara putriku
dan teman-temannya menonton.
Putriku bahkan mengirimku ke jalan tempat bersarang pelacur-pelacur murah meriah.
Aku diharuskan pulang membawa uang dalam jumlah tertentu. Aku tahu putriku tak
begitu memerlukan uang itu, putriku menyuhuku hanya untuk menunjukan siapa yang
memegang kendali.
Namun yang lebih memalukan adalah saat putriku dan ketiga sahabatnya
menyenggamaiku. Ya, mereka memakai alat bantu, seperti celana dalam, namun di cd
itu terpasang dildo yang berukuran agak besar. Tentu aku tak boleh keluar. Namun
sayangnya aku keluar juga, membuat putriku menghukum memekku.
Baru-baru ini putriku seperti mengadakan perayaan di rumah. Aku diikat hingga berlutut
dengan pantat membusung ke atas. Mereka lantas menyodomi pantatku dengan cd dildo
beberapa kali. Meski sakit dan sungguh sangat merasa terhina, ternyata sangat sulit
untuk menahan diri agar tidak keluar. Untungnya mereka memutuskan aku pantas
keluar.
Namun rupanya aku harus keluar dengan cara masturbasi. Mereka bahkan mulai
bertaruh berapa kali aku keluar dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, yaitu tiga puluh
menit.
Memalukan sekali rasanya masturbasi di hadapan sekitar dua puluh abg yang matanya
fokus menonton. Delapan kali aku keluar. Pemenangnya ternyata Aisah, seorang gadis
tomboy dengan perawakan kecil. Dia terlihat sangat gembira.
Esoknya kembali normal, aku disuruh berpakaian layaknya abg, seperti adik baginya.
Aku benar-benar benci. Entah ke mana aku di bawa, hingga sampailah aku ke sebuah
rumah tua, seperti peninggalan kumpeni dengan halaman yang luas. Datang abg
menyambut dan memeluk putriku. Dari pelukan dan ciumannya, bisa kulihat mereka tak
layaknya seorang teman biasa.
Aku tak tahu mesti ngapain saat kedua abg itu terus pelukan sambil ciuman. Lantas
kuputuskan untuk melihat sekeliling. Lantas kusadari ada seorang wanita di belakang
gadis yang mencium putriku. Dia terlihat sama sepertiku. Bahkan memakai pakaian yang
sama. Selintas, kami seperti kembar. Selama beberapa saat kami bertatapan, lantas dia
tersenyum malu.
Putriku lantas menghentikan pelukannya dan melihat kami yang lantas menunduk.
Wanita lain yang sepertiku lantas menyambut putriku, Nyonya Ana, katanya lantas
berlutut. Untungnya aku telah mendengar siapa yang mencium putriku. Aku lantas
berlutut dan bicara, Nyonya Pipit. Aku merasa putriku merasa bangga dan pipit terkejut.
Ana mengetukkan kaki kanannya yang merupakan tanda kalau aku harus mengikutinya.
Aku bangkit diikuti abg yang sepertiku. Namun kuperhatikan pipit belum menyentukkan
kaki. Sepertinya sengaja, aku lantas berbisik, belum dulu, pada sebelahku. Dia kembali
berlutut sementara aku melangkah mengikuti putriku.
Putriku dan pipit menoleh melihatku patuh di belakang putriku sedang gadis lain masih
berlutut di tempatnya. Kini Pipit menyentakkan kaki lantas kudengar gadis lain lari
hingga kini di sebelahku. Aku merasa tangannya mencari tanganku, lantas kuraih dan
kami bergandengan tangan. Kami bergandengan tangan seperti putriku dan pipit
Di dalam, aku berusaha melihat-lihat. Ternyata ruang tamunya sangat besar. Kami
sampai ke ruang lain, yang tak kalah mengesankannya.
Lu tau mesti kemana, pipit berkata, bawa dia!
Ya nyonya, jawabnya lantas menarikku. Aku terkejut di bawa ke ujung dinding, di sana
ada pintu tersembunyi. Di dalam, kami tetap berdiri sambil tetap berpegangan tangan.
Ingin kubertanya, hatiku melara-lara, namun aku takut kita belum diizinkan bicara.
Setelah beberapa saat, dia mulai berlutut, sambil tetap memegang tanganku, lantas
menarikku hingga aku ikut berlutut. Dia tak mau mepas tangannya. Bahkan dia kini
mendekat padaku. Kini, dia melepas tangan dan menaruhnya di pahanya, aku
mengikutinya. Kini tubuh bersentuhan. Aku baru mengalami seperti ini, jadi aku hanya
diam saja.
Beberapa saat kemudian kedua nyonya kami masuk dan tersenyum melihat kami duduk.
Mereka lantas menyuruh berdiri dan melepas pakaian. Pipit datang bawa tiga sepatu
highheel, bukan tiga pasang. Sepatu ketiga bentuknya lebih besar. Lantas sepatu ketiga
itu diisi kaki kanan gadis kecil dan kaki kiriku. Kaki itu tingginya kira-kira sepaha.
Ketatnya sepatu membuatku mesti ikut gerak andai kakinya gerak. Begitu pula
sebelumnya. Belum pernah aku memakai sepatu dengan hak setinggi ini, hingga
membuatku seperti berjinjit.
Belum selesai, lantas aku melihat sebuah korset aneh. Seperti korset ganda. Kami
dipakaikan korset dan kini terlihat aneh, dalam korset itu tubuh kami menyatu pinggang
ke pinggang. Korsetnya ditarik hingga membuatku susah bernafas. Tangan kiriku
diletakan di pinggulnya, begitu juga dengan tangan kanannya.
Kini aku hanya bisa memakai tangan kanan, gadis sebelahku memakain tangan kiri. Kini
terlihat kami seperti kembar siam. Dengan tiga kaki, dua kepala dan dua lengan. Kedua
nyonya terlihat sangat senang hasilnya lantas memperhatikan kami.
Tanpa peringatan, putriku memecut memekku. Aku menangis kesakitan, di sisi lain aku
mencoba menjaga keseimbangan agar tak jatuh.
Oh iya, aku lupa, kata pipit lantas tertawa dan melihat kami. Mungkin terlihat jelas warna
merah di tempat putriku memecutku. Bagus nih, tapi kayaknya ada yang kurang.
Aku bisa merasakan gadis ini menggigil namun aku berusaha agar tetap seimbang. Aku
meringis kesakitan saat putriku memecut putingku. Gadis ini juga menangis saat
putingnya dipecut pipit. Lantas keduanya mengelilingi kami dan memecut. Yang kutau,
kami selalu dipecut di tempat yang sama. Kami terus mengejang dan meringis namun
tetap berusaha menahan keseimbangan.
Kemudian para nyonya ngobrol, apakah kami mesti dipukul bareng atau satu -satu.
Mereka lantas mesti coba, lantas mereka memukul kami satu-satu. Untungnya sudah
agak seimbang hingga tak jatuh.
Putriku mulai bicara lagi, kayaknya kaliang ingin dekat terus ya?
Aku tahu putriku punya pemikiran lain dan tak peduli apa pun jawaban kami. Setidaknya
tak pernah melakukan apa yang kukatakan. Jadi kujawab asal saja, iya nyonya, saya
sangat ingin. Gadis ini pun rupanya memiliki pemikiran yang sama sehingga menjawab
seperti jawabanku.
Bagus. Karena mulai kini, lu tinggal kayak gini, kata pipit sambil tertawa, lu mesti jalan,
ngomong dan mikir sama-sama. Ngelakuin sama-sama. Lu adalah satu. Mungkin kami
terlihat seperti bingung, beberapa waktu lalu kami tak saling kenal, namun kini mesti
diikat bersama.
Kalau kalian salah, dua-duanya dihukum. Kalau satu salah, keduanya juga dihukum.
Tapi itu gak adil, gadis ini mulai bicara.
Siapa yang bilang keadilan? putriku angkat bicara lantas memecut susuku. Pipit
melakukan hal yang sama.
Gadis ini lantas memohon belas kasih diantara tangisnya. Lu ngerti gak? Pipit mulai
emosi.
Ya nyonya, saya minta maaf, jawab gadis ini terisak.
“Sentuh memeku? Pipit kembali merintah.
Gadis bodoh, pikirku. Dia lantas memegang selangkangannya. Tiba-tiba pipi kami
ditampar.
Maaf nyonya, gadis itu kembali bicara. Lantas tangannya kini memegang memekku, yang
ternyata basah. Aku bertanya-tanya kenapa memeku basah padahal apa yang kulakukan
ini sangat kubenci.
Nah …
Basah nyonya.
Aku juga disuruh menyentuh memek gadis ini, yang ternyata sama basahnya denganku.
Ini juga basah nyonya, kataku.
Lu dua pelacur sange. Gw gak cuma ngehukum lu bareng. Jika salahsatu dari lu cukup
bodoh buat bertidak atau keluar tanpa izin, maka yang gak salah bakal dihukum ganda.
Tak adil memang, tapi aku tahu mereka akan melakukan apa saja untuk membuat kami
keluar. Kami hanya menjawab, Ya nyonya. karena tentu kami tak berani protes.
Mereka menuju pintu dan menyuruh kami mengikuti. Perlahan-lahan hingga menuju
ruang kosong yang lumayan lega. Aku bertanya-tanya untuk apa di sini.
Kalian latihan di sini, latihan jalan, nunduk dan lainnya, kata Ana.
Pipit menunjuk sebuah tombol yang letaknya cukup tinggi. Sepertinya susah untuk
kujangkau, saat udah yakin bisa, tekan tombol itu, biar kita datang terus cek.
Iya nyonya, jawab kami patuh, meski bingung cara untuk meraihnya.
Tepat sebelum mereka berjalan keluar pintu mereka, mereka berbalik, lantas Ana
berkata, “Mah, ini adik, dik ini mama. Jangan males belajarnya, karena kita bisa lihat dan
dengar kalian. Paham? Lantas mereka tertawa dan meninggalkan ruang.
Kami melihat satu sama lain.
Hai dik, bisikku lalu mulai memeluknya pelan. Mending kita mulai.
Adik tersenyum, iya mah.
Kami coba berdiri dengan pelbagai pose. Namun saat bergerak, butuh waktu lama untuk
menyesuaikan diri. Apalagi latihan jalan. Belum pernah kucoba sesuatu yang sesulit ini.
Kami jalan terhuyung-huyung seperti sedang mabuk. Juga kami berlatih berlutut serta
murangkak.
Di dinding ada gambari Ana dan Ipit, tangannya memegang papan bertuliskan ‘air.’
papan itu memiliki panah yang menunjuk pada gambar memeknya. Di gambar memek
itu terdapat lubang. Karena kami sangat haus, kami berlutut dengan kepala agak ke
depan lantas menjilati lubang.
Satu detik kemudian kami menjerit terkejut, lidah kami serasa kena setrum. Kami saling
pandang ngeri. Apakah ini cara baru untuk menyiksa kami? Namun segera aku yakin,
setrum ini bukan tanpa tujuan. Setelah keterkejutanku reda, kulihat adik hampir
pingsan. Bisa makin berabe nih. Kita mesti bareng, teriakku sadar.
Kami terus latihan, jalan, lari, merangkak, berlutut.
Para nyonya datang bersama beberapa gadis lain. Mereka membawa meja dan bangku.
Kami bergidik melihat bangku itu. Di bangku itu tertancap empat dildo yang, jika kita
duduk, dapat dipastikan akan menancap. Namun kekhawatiran kami seakan sirna, sirna
itu sempurna, saat melihat mereka juga membawa makanan.
Lu siapin itu, kata Ana sambil mengangguk ke dildo.
Aku tentu paham maksudnya. Aku mesti menjilati dildo itu hingga basah. Aku meremas
pelan adik lantas kami bergerak, berlutut dan menghisap dildo hingga para nyonya puas
dan menyuruh kami duduk. Karena tak dapat melihat dildo, kami duduk pelan-pelan.
Para nyonya tentu tak sabar dan langsung menekan tubuh kami sambil tertawa.
Di meja terdapat satu piring, satu garpu dan satu pisau. Ingat, lu dan lu adalah satu, kata
mereka lantas pergi. Di piring terdapat daging. Adik mengambil garpu dan menusuk
daging. Potong, katanya. Aku mengambil pisau dan memotongnya. Irisan daging adik
masukan ke mulutku. Proses diulangi, namun kali ini daging dimakan adik
setelah itu para nyonya datang dan menyuruh kami ikut. Dengan agak sulit, kami
bangkit dan bergegas mengikuti mereka. Sepatu dan korset kami dibuka, namun kami
belum berani menjauh.
Kami di bawa ke ruang lain yang hanya berisi kotak hitam besar. Pipit menekan suatu
tombol lantas setengah kotak bagian atas terbuka menampilkan sesuatu yang sangat
mengejutkan. Terdapat dua dildo. Hitam, dildonya hitam tetapi besar ukurannya.
Kami disuruh menaiki dildo itu ke anus. Aku menangis sambil mengerang hingga
akhirnya tertancap seluruhnya. Setelah itu aku disuruh berbaring.
Pada adik, dia terus memohon belas kasih sambil melakukannya. Tentu itu percuma.
Setelah selesai, adik menangis di sampingku.
Pipit menyumat hidungku hingga tak bisa bernafas lewat hidung. Kubuka mulutku untuk
bernafas. Pipit menekan saklar lain dan sesuatu tiba-tiba muncul dan memasuki
memekku. Tidak seperti dildo, entahlah karena aku tak bisa lihat.
Bagian atas kotak tiba-tiba mulai menutup kembali. Di atapnya terdapat dildo lain, tentu
untuk mulut kami. Aku takut mesti menghabiskan malam di dalam kotak. Dildo di
memekku mulai menggelitik. Hingga kusadari seperti berlistrik. Dildo mulut itu masuk ke
mulut hingga seperti mentok.
Tangki di memelu, kalau penuh bakal memompa isinya ke mulut lain. Jadi kalau lu
kencing, yang lain mesti minum airnya, kata pipit.
Setelah kotak tertutup rapat, cahaya menjadi sirna. Aku sulit bernafas. Lenganku
bergerak mencari lengan adik hingga tangan kami berpegangan.
Sekian dan Terimakasih