
“Diam … diamlah Naina! Sebentar saja dan tak akan sakit!”
Sebuah suara parau terdengar berbisik dekat telingaku. Aku tak bisa bicara, mulutku dibekap sebuah tangan dengan kuat. Dapat kurasakan embusan napasnya yang berbau alkohol memburu, menerpa wajah hingga sepanjang leherku.
Melalui bias cahaya bulan keperakan yang masuk melalui ventilasi di atas jendela kamar, dapat kulihat sosok wajah yang kini hanya berjarak sekilan dari wajahku.
Den Arya?
Pupilku melebar seketika. Hampir tak percaya dengan penglihatan sendiri. Anak majikanku, Den Arya, kini sedang berada di kamarku. Sikapnya tak sekedar mengancam, dan aku mulai merinding ketika dengan kasar jemari tangannya mulai menyentuh permukaan kulitku.
“Ja-jangan … Den,” pintaku mengiba. Namun sepertinya ia tak mendengar. Atau pura-pura tak mendengar?
Den Arya justru menyeringai. Kupikir ia akan pergi ketika menjauhkan diri dariku. Namun ternyata aku salah.
Tubuhku rasanya menggigil hebat kala Den Arya mulai membuka pakaian, lalu kembali menaiki tempat tidurku.
“Temani aku malam ini, Naina.” Suara Den Arya terdengar serak.
Matanya berkilat penuh bahaya. Aku menggelengkan kepala kuat, lalu beringsut mundur untuk membentang jarak darinya. Melihat itu, Den Arya justru terkekeh. Sepertinya ia sangat senang melihatku ketakutan seperti ini.
“Ti … dak, Den. Tolong jangan lakukan. Ini dosa ….” Airmataku meleleh tanpa bisa kucegah.
Den Arya kembali tertawa. Ingin aku menjerit keras, namun suara seperti tercekat di tenggorokan.
“Hidupku sudah dipenuhi banyak dosa, Naina. Tak jadi masalah jika bertambah satu lagi catatan dosaku. Menodai gadis sebaik dirimu, misalnya,” bisiknya parau sambil terus bergerak mendesak hingga aku tersudut di ujung tempat tidur. Aku tak bisa lagi mundur.
“Jangan, Den … atau saya__”
“Kau akan berteriak, Naina? Lakukanlah sampai pita suaramu rusak. Tak akan ada yang mendengar sebab di rumah ini hanya ada kita berdua sekarang,” selanya yang membuat jantung ini langsung mencelos.
“Lepaskan aku!” Aku berseru marah campur ketakutan saat ia berusaha mengusaiku.
“Diamlah, Naina. Ini tak akan lama. Tenanglah, kujamin kau juga akan menikmatinya.”
Kata-kata anak majikanku ini sungguh sangat menjijikkan bagiku. Andai bisa, ingin kurobek mulutnya yang kotor itu dengan sebilah pisau daging yang biasa kugunakan untuk memasak.
“Jangan, lepaskan!” Aku mulai berteriak ketika tangannya terulur hendak menjamahku. Tapi alih-alih berhenti, Den Arya tampaknya justru semakin bersemangat melakukan aksinya.
Dengan kasar ia menarikku hingga tersentak maju ke arahnya. Bagai binatang buas, ia mencabik seluruh kain yang kukenakan, merenggut paksa segalanya, membuatku pasrah tak berdaya menerima perlakuannya yang tidak senonoh.
Termasuk … kehormatanku sebagai seorang wanita. Sesuatu yang si mbok bilang harus kujaga baik-baik, hingga ada pria baik yang kelak datang untuk meminangku dan menjadikanku istrinya.
Tak dipedulikannya tangis piluku. Den Arya benar-benar telah dikuasai oleh nafsu syaitan ketika tanpa belas kasihan ia menyakitiku. Di bawah bias cahaya bulan, ia menghancurkan masa depanku.
Allah … rasanya aku lebih memilih mati saat menunggunya ‘selesai’. Malam ini terasa begitu panjang dan memilukan.
Dan Den Arya tersenyum puas setelah melakukan aksinya yang menjijikkan, sementara aku meringkuk sambil menangis kesakitan. Perih sekali di bawah sini. Di tempat yang ia robek paksa tadi. Tak hanya tubuh yang sakit, tapi jiwaku juga.
Hancur sudah masa depanku. Entah bagaimana kelak jika calon suamiku bertanya kenapa aku sudah tak lagi suci.
Calon suami?
Aku tersenyum getir. Aku bahkan tak yakin masih akan ada laki-laki yang mau mempersunting seorang perempuan yang telah ternoda sepertiku.
Tanpa bicara, Den Arya keluar setelah kembali mengenakan pakaiannya. Meninggalkan aku yang masih meratap di sini, dengan tempat tidur acak-acakan, serta seprai yang bernoda darah kesucianku.
Membayangkan wajah ibu serta kedua adikku di kampung, airmataku kembali jatuh. Yang demi mereka aku rela bekerja di rumah keluarga Tjokro Aryadhana, namun justru di tempat ini aku harus kehilangan masa depanku.
*
Plak!
Aku tersentak kaget ketika Tuan Tjokro mendaratkan sebuah tamparan keras di pipi Den Arya.
Pagi ini, sekembalinya kedua majikanku yang tak lain adalah kedua orangtua Den Arya dari tempat hajatan keluarga, aku langsung mengadukan perbuatan putra tunggal mereka.
Nyonya Ayu, begitu aku biasa memanggil nama majikan perempuanku, tampak shock sampai tak bisa bicara sepatah kata pun.
“Dasar anak tak tahu diri! Mau kamu coreng dengan aib, nama keluarga ini, hah?!” Suara Tuan Tjokro menggelegar memecah pagi yang hening di rumah ini.
“Aku khilaf,” ucap Den Arya ringan, seolah tanpa beban.
Aku menatap ke arahnya, dan hati ini begitu sakit ketika ia membalas tatapanku tanpa rasa bersalah.
“Nikahi dia sebagai bentuk tanggung jawabmu!”
Gelegar suara itu kembali mengagetkan, bahkan lebih dahsyat dari sebelumnya.
“Me-menikah?” kataku mengulangi ucapan Tuan Tjokro tanpa sadar.
“Iya, Naina. Kamu akan kami nikahkan dengan baj*ngan ini.” Tuan Tjokro menunjuk Den Arya dengan wajah murka sekaligus merah padam. Sementara yang ditunjuk hanya tersenyum masam tanpa menunjukkan ekspresi apa pun.
Aku merasakan seluruh kudukku berdiri ketika tatapan mata kami kemudian bertemu. Lintas kejadian terkutuk tadi malam kembali berputar dalam kepala. Kedua netraku terasa panas, airmata kembali menggenang memenuhi pelupuk mata.
Bagaimana bisa aku menikah dengan pria yang telah memperkosaku? Menghancurkan hidup sekaligus masa depanku.
…
Assalamualaikum teman-teman. Jangan lupa klik subscribe cerita ini ya. Matur tengkiyu.
Part 2
Kukira tak akan ada seorang pun gadis yang mau berada di posisiku saat ini. Dipaksa menikah dengan seseorang yang sangat dibenci di dunia. Jangankan membayangkan kehidupan bersama, melihat wajahnya pun aku merasa sangat muak.
Tidak. Aku tidak mau menikah dengan Den Arya. Bagaimana bisa aku menikah dengan seorang penjahat dan pemerkosa seperti dia. Lebih baik aku tidak menikah seumur hidupku ketimbang harus menjadi istrinya.
Mengumpulkan keberanian, aku berdiri. Ketiga pasang mata itu kini menatapku. Tuan Tjokro, Bu Ayu, serta Den Arya.
“Saya tidak mau menikah dengan Den Arya, Tuan. Lebih baik, saya pulang kampung saja. Saya sadar diri bahwa saya hanya seorang gadis kampung miskin yang tidak ada seujung kukunya dengan keluarga kalian.
Saya mungkin tidak dapat menuntut keadilan di dunia ini. Sebab hukum di negeri ini tumpul ke atas tapi tajam ke bawah. Saya sadar tidak akan mungkin menang kalau pun nekat membawa kasus ini ke jalur hukum.
Biarlah, sakit hati saya ini cukup saya adukan pada Allah saja. Dia lah sang penggenggam hidup, yang di tangan-Nya semua akan berjalan dengan seadil-adilnya. Biar Allah yang membalas dengan caranya.” Kuakhiri kalimat dengan tatapan tajam pada Den Arya.
Laki-laki yang usianya tak jauh beda dariku itu hanya menunduk.
Aneh. Biasanya dia akan cengengesan dan membalas dengan ucapan menyakitkan. Tapi kenapa kali ini berbeda? Apakah tamparan ayahnya tadi telah mengembalikan pikiran warasnya yang selama ini hilang?
“Oh … syukurlah, Naina. Saya sebagai ibunya, meminta maaf atas nama Arya. Jangan khawatir, Naina, kami akan memberi pesangon lebih untuk kamu. Tolong, jangan katakan pada siapa pun tentang apa yang telah terjadi, ya. Kita damai saja.”
Bu Ayu berdiri. Menatapku dengan tatapan lega. Aku menangis dalam hati. Dia seorang wanita, tapi menganggap enteng apa yang telah terjadi padaku akibat ulah putranya.
“Tidak usah, Bu. Harga diri saya tidak untuk diperjual belikan. Melupakan bukan berarti memaafkan. Hati-hatilah dengan doa orang yang terzolimi, sebab doanya langsung naik ke langit.”
Aku menjawab. Sebisa mungkin kutahan airmata ini agar tidak jatuh. Cukuplah tangisku semalam. Di depan mereka, aku harus tetap tegar.
“Kamu yakin dengan keputusanmu, Naina?” Tuan Tjokro menyipit saat menatapku.
“Yakin, Tuan,” jawabku mantap.
“Bagaimana kalau kau hamil?” Den Arya tiba-tiba menyela. Dan tubuhku seketika kaku dibuatnya.
Hamil?
Ya Allah, kenapa tidak terpikirkan olehku sebelumnya?
Ya, bagaimana jika aku sampai hamil karena perbuatan bejat laki-laki itu?
“Menikah saja denganku. Bukankah dengan begitu bisa menaikkan derajatmu? Dari seorang babu menjadi ….”
“Aku sama sekali tidak tertarik dengan apa yang orangtuamu miliki,” sindirku. Sengaja menekan kata-kata, agar pemuda sombong itu sadar bahwa apa yang dinikmatinya selama ini adalah milik orangtuanya. Bukan hasil keringatnya sendiri.
Wajah Den Arya sedikit memerah. Aku tak peduli dan gegas menuju kamarku untuk berkemas. Hari ini juga, aku akan pulang ke kampung halaman.
Hatiku teremas perih kala menatap tempat tidur yang telah kurapikan. Di situlah aku kehilangan hartaku yang paling berharga sebagai seorang wanita. Semua gara-gara dia. Aku sangat membencinya.
Kedua mataku terasa memanas. Kutengadahkan kepala ke atas, berharap airmata yang hendak tumpah ini bisa masuk lagi. Biarlah ia tumpah di dalam saja.
Selesai berkemas, aku pun segera ke luar kamar. Di ruang tamu, kini hanya tinggal Tuan Tjokro sendirian. Tak kudapati sosok istri dan anaknya yang jahat.
Melihatku muncul, Tuan Tjokro serta merta berdiri. Ia seperti ingin mengucapkan sesuatu kepadaku.
“Naina, ambillah ini sekedar untuk ongkos pulang.” Ia menyerahkan sebuah amplop yang cukup tebal kepadaku.
“Saya tidak mau menerimanya, Tuan. Harga diri saya__”
“Saya tidak sedang membeli harga dirimu. Yang namanya salah tetap salah, Naina. Tidak bisa menjadi benar hanya karena sejumlah uang. Saya mewakili keluarga tulus meminta maaf. Dan andaikata kamu hamil karena Arya, maka kalian harus menikah. Tidak dapat ditawar-tawar!”
Tuan Tjokro berkata dengan nada tegas saat menatapku. Aku terdiam, lalu perlahan menundukkan pandangan.
‘Ya Allah … kumohon, jangan beri aku cobaan melebihi batas kesanggupanku,’ doaku dalam hati.
Tuan Tjokro kemudian mengambil ransel yang tersampir di pundakku. Tanpa ijin, dia membuka resleting dan memasukkan amplop tadi ke dalam tasku.
“Sekali lagi saya minta maaf. Hati-hati di jalan, Naina,” ucapnya pelan. Melalui pancaran matanya, aku tahu laki-laki paro baya berwajah karismatik itu mengucapkannya dengan tulus.
Aku hanya mengangguk, kemudian segera berlalu dari hadapannya.
“Naina!” Suara yang amat kukenali itu terdengar menyapa pendengaran.
Muak. Itu yang kurasakan. Pura-pura tak mendengar, aku mempercepat langkah ke luar dari gerbang pagar tinggi yang menjadi sekat rumah besar ini dengan dunia luar.
Aku tak ingin melihat wajahnya lagi, mendengar suaranya, dan segala hal mengenai pemerkosa itu.
“Nai!” Lenganku terasa dicengkeram dan ditarik dengan kasar oleh sebuah tangan yang aku tahu jelas siapa pemiliknya.
“Lepaskan aku, baj*ngan! Breng**k kau!” Aku kalap memaki dirinya sambil berusaha melepas tangannya dari tubuhku.
Jantungku berdetak sangat cepat. Napasku pun terasa sesak. Aku menatap pria di depanku sengit, berharap ia menghilang ditelan bumi saat ini juga.
“Ayo, kuantar kau pulang ke kampung halaman kamu,” katanya dengan wajah gusar.
“Tak perlu! Menjauhlah dariku. Pergilah yang jauh, kalau perlu, mati saja sekalian sana!” kataku kasar.
Aku yang seumur hidup bahkan tak pernah membentak orang apalagi berkata kasar, entah kenapa kali ini amarahku terasa meluap-luap.
“Terserah kamu, Nai. Maki atau pukul saja aku sepuasmu. Aku memang bersalah padamu,” akunya dengan nada dan ekspresi penuh sesal di wajah.
Aku menghela napas dalam-dalam. Mengisi dadaku yang sesak dengan oksigen. Andai benci ini bisa membunuh, kupastikan sudah terbelah tubuh lelaki ini.
Tubuhku sampai gemetar hebat menahan berbagai rasa yang berkecamuk dalam dada. Hingga puncaknya, tangisku justru pecah saat itu juga. Di tempat ini. Di depan laki-laki yang telah menghancurkan hidupku.
Judul: DINODAI ANAK MAJIKAN